DESIGN/KAMRAD (VA SAFI'I)
SURABAYA, TONGOIKALMORE.COM - Dalam
sejarah masyarakat dunia, ada tonggak dan peristiwa penting yang mempengaruhi
nasib dan kehidupan manusia, yang kemudian menentukan perkembangan selanjutnya.
Dengan tanpa keraguan bahwa salah satu peristiwa penting dan besar tersebut
adalah 1 Mei, yakni Hari Solidaritas Buruh Internasional. Merupakan sebuah
peristiwa yang sudah menjadi tradisi guna memperingati (baca: mengingatkan)
kembali momentum yang terjadi pada tahun 1889, dimana pada saat itu, Kongres
Paris Internasional Kedua (Komunis Internasional Kedua) menyetujui
ditetapkannya tanggal 1 Mei sebagai hari buruh internasional pertanda
perjuangan para buruh untuk mendapatkan hak-haknya. Ujar - Boa Noite – Kaum
Merah. (VA Safi’i).
Menurutnya, “Penetapan
tanggal peringatan tersebut, juga sebagai sebuah kelanjutan dari peristiwa yang
berkaitan dengan tragedi pembantaian yang dilakukan oleh pihak kepolisian
Chicago (Amerika Serikat) terhadap para buruh yang sedang
berdemonstrasi pada bulan Mei 1886. Tahun ini, saat ini, rakyat pekerja di
seluruh dunia sedang menderita dan sedang menghadapi krisis sistemik
kapitalisme. Sebuah kelanjutan dari krisis-krisis yang telah terjadi
sebelumnya. Virus corona hanyalah pemicu. Sekali lagi, pemicu atas terjadinya
krisis yang berlangsung saat ini. Ibarat sebuah bom, virus corona
adalah sumbu (benang) yang mengantarkan api ke dalam tabung yang sudah berisi
bubuk mesiu. Lalu, terdengar suara ledakan “booom!”. Senin, (04/5/2020) Pukul 20:30 - Waktu Indonesia Barat.
"Jika kita
perhatikan secara lebih seksama, krisis multidimensional yang berlaku saat ini
semakin mengarah pada penguatan penindasan (eksploitasi) dan penghisapan (eksplorasi)
yang dilakukan oleh elit politik borjuasi terhadap rakyat pekerja. Krisis ini
telah memperburuk kondisi kehidupan milyaran manusia, merampas pekerjaan dan
prospek masa depan mereka. Juga, krisis ini telah menyebabkan perubahan
struktural dalam perekonomian global, pendapatan dan pengeluaran, distribusi,
pasar, dan sumber daya lainnya. Serta, juga mulai menghancurkan kehidupan
sosial-budaya (termasuk praktek ritual keagamaan) masyarakat." Tuturnya.
"Selain itu,
jika kita perhatikan dengan seksama, bahwa selama berlangsungnya krisis ini,
persoalan Hak Asasi Manusia dan kebebasan warga negara terkebiri. Dengan dalih
pembatasan ketat yang disamarkan sebagai bagian dari tindakan sanitasi-epidemiologis
selama mewabahnya virus corona ini, elit-elit penguasa borjuasi dengan
mengatasnamakan negara melakukan kontrol total atas kehidupan rakyat. Sudah
pasti, tindakan-tindakan elit-elit kekuasaan tersebut dibantu dan bekerjasama
dengan elit-elit pemilik modal (baca: kapitalis) baik lokal,
nasional maupun transnasional." Ungkapnya.
"Contoh kasus
yang paling sederhana di (Indonesia) adalah mengenai boleh dan tidaknya mudik
dan pulang kampung. Beda Indonesia, beda India. Di negeri “mahabarata”
tersebut, kita bisa menyaksikan melalui media sosial bagaimana aparat keamanan
India memukuli pantat dan tubuh warganya dengan alasan virus corona. Selain
itu, bahwasannya sudah banyak analis yang menyatakan bahwa krisis ekonomi yang
terjadi saat ini, derajadnya lebih besar daripada krisis yang pernah terjadi
sebelumnya, seperti tahun 1929, 1998 dan 2008." Ucapnya.
Menyadari
tentang kondisi tersebut, setiap pemerintah di masing-masing negara sedang
membuat dan mempersiapkan rencana pemulihan ekonomi pasca serangan wabah virus
corona, termasuk Indonesia. Apa isi dari rencana pemulihan ekonomi yang sedang
dibuat oleh pemerintahan Jokowi? Jujur saja, sejak virus ini mewabah dan
berdampak pada kehancuran sektor ekonomi, pertanyaan pertama yang muncul dalam
pikiran saya adalah terkait dengan hal tersebut. Apapun rencana pemulihan ekonomi yang akan
dibuat oleh rezim Jokowi, setidak-tidaknya meliputi 3 (tiga) hal, yakni: 1. Gambaran dan kesimpulan mengenai
krisis yang sedang terjadi; 2. Langkah-langkah pemulihan yang akan
ditempuh; 3. Pembiayaan atau anggaran. Pungkasnya.
Bahwasannya,
poin (3) dan (2) sangat tergantung pada poin (1). Jika dalam poin (1) tidak
menyinggung sama sekali mengenai kapitalisme dan atau neo-liberalisme, bisa
saya pastikan bahwa langkah-langkah dan pembiayaan yang akan dibuat masih
menganut dan melanjutkan SISTEM YANG LAMA (kapitalisme dan
atau neo-liberalisme). Sebuah sistem yang hari ini membuat kehidupan rakyat
babak belur. Jika opsi atau pilihan ini yang dipilih oleh Jokowi, berarti
negara Indonesia harus berhutang kembali kepada lembaga-lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Artinya, dengan belajar dari masa
lalu, berarti yang harus membayar hutang atau biaya pemulihan krisis tersebut
adalah rakyat jelata kembali. Ya, elit politik dan pemerintah yang berhutang,
rakyat yang harus bayar! Lagi-lagi, RAKYAT YANG HARUS MENELAN PIL PAHIT! Bebernya.
Di saat-saat
seperti sekarang ini, seyogyanya, Presiden Jokowi harus berani untuk mengakui
bahwa selama ini pemerintahannya dan pemerintahan sebelum dirinya telah
menganut sebuah system yang terbukti gagal dalam mensejahterakan rakyat
Indonesia. Dengan begitu, kita (bangsa Indonesia) memiliki sebuah kesempatan
untuk kembali bertanya pada diri sendiri apakah kita harus dan tetap
mempercayai orang-orang atau lembaga-lembaga yang telah terbukti menjerumuskan
rakyat, bangsa dan negara ini pada jurang kegagalan. Sesungguhnya, pandemi atau
wabah virus corona ini menawarkan pada kita sebuah kesempatan untuk
mempertimbangkan desain ulang yang lebih baik mengenai tatanan ekonomi dan sosial
kita. Bagi saya, tatanan yang tepat adalah sosialisme!
Sumber Data: VA Safi’i
Editor: Kevin Meno Natkime
Tidak ada komentar:
Posting Komentar