Jumat, 01 Mei 2020

SELAMAT MEMPERINGATI: “Hari Aneksasi Papua 1 Mei 1963 – 1 Mei 2020 Dan May Day 2020”

ILLUSTRATION DESIGN

(JUBI.ID.COM - TIRTO.ID.COM & TONGOIKALMORE.COM)

SURABAYA, TONGOIKALMORE.COM - Selamat memperingati hari Aneksasi 1 Mei 1963 - 1 Mei 2020: Sejarah integrasi Papua harus diklarifikasi sebagai jalan solusi mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Papua. Keabsahan 1 Mei 1963 sebagai “Hari Integrasi”, oleh sebagian besar rakyat Papua dipandang sebagai “Hari Aneksasi” Indonesia atas Tanah Papua. Ini karena orang-orang Papua sendiri sejak 15 Agustus 1962, tidak pernah dihargai dan dihormati hak azasinya sebagai salah satu komunitas masyarakat di dunia dan bukan merupakan subjek yang ikut menentukan nasibnya sendiri.

Adapun Pepera tahun 1969 sesungguhnya memiliki nilai minus yang sudah semestinya segera dijadikan bahan kajian dan diskursus dalam berbagai kesempatan secara terbuka di alam demokrasi Indonesia, guna memperoleh kesepakatan yang damai. “Ini saya sampaikan karena atas dasar “keabsahan” Pepera 1969 yang masih terus dipersoalkan serta 1 Mei 1963 yang dipandang oleh rakyat Papuasebagai Hari Aneksasi.” Berikan hak menentukan Nasibnya sendiri sebagai solusi Demokratis Bangsa West Papua.

KHAS PERLAWANAN ORANG PAPUA : 
Orang Papua punya sejarah panjang perbudakan dari kolonial indonesia. Dalam orasi-orasi pergerakan revolusioner dan politik, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) selalu mengatakan "kami tidak melawan orang Indonesia, tetapi kami melawan sistem kolonial Indonesia", tetapi belum menentang ciri khas perlawanannya, seperti "sistem apartheid" di Afrika Selatan yang dibahas seluruh sistem perbudakan yang diterapkan oleh imperialis Inggris. Bisa saja apa yang disetujui para aktivis politik Papua merdeka yang mendorong keputusan itu sendiri melalui “referendum” ini terkait sistem birokrasi dan swasta, politik, ekonomi, dan budaya yang menindas orang Papua secara sistematis. Namun belum jelas. 

Terkait, itu belum diterjemahkan sebagai “ciri khas perlawanan” seperti “sistem rasialisme” di Amerika Serikat, yang digerakkan oleh Marthen L. King dkk. Meski demikian, tidak rumit untuk menggambarkan “ciri khas perlawanan-perlawanan orang Papua terhadap kolonial Indonesia”. Ragam acara bisa menjadi rujukan. Di sini kita diajak untuk membuka lembaran-lembaran sejarah masa lalu sampai pada revolusi sosial saat ini. Tujuannya untuk mengatur “ciri khas orang Papua” secara tepat. Ujar - Dituliskan oleh Aktivis Papua, (Immount de DJjthem).

SEJARAH INTEGRASI PERSUS ANEKSASI POLITIK :
Salah satu ciri khas itu dengan menilik sejarah "aneksasi Papua ke NKRI". Kolonial Indonesia memperingati setiap 1 Mei sebagai "hari berkomunikasi Papua ke dalam NKRI". Sementara orang Papua mempercayai 1 Mei 1963 sebagai hari "aneksasi" atau puncak politik dan ekonomi tingkat tinggi antara imperialis Amerika Serikat, kolonial Indonesia dan Belanda — tanpa kontribusi dan melakukan kompromi terlebih dahulu dengan orang Papua.

PENYERAHAN TANAH PAPUA DEMI NEMANGKAWI (TEMBAGAPURA) : Dengan mengantongi hasil temuan Jean Jacks Dozy, geolog Belanda dari gunung emas, Tembagapura pada 1939, untuk mendapatkan untung besar, imperialis Amerika Serikat “merayu” kolonial Belanda agar dapat menghubungi Papua ke tangan kolonial Indonesia. Motif penyerahan tanah Papua penuh dengan ekonomi — sewenang-wenang — di luar kehendak dan penuh dengan "pemaksaan". 

PERAN CIA DALAM PROSES ANEKSASI : 
Kolonial Belanda menyerahkan tanah Papua ke tangan UNTEA pada hari itu atas “desakan / pemaksaan” dari Amerika Serikat (CIA) yang menggunakan label-label PBB (UNTEA). Kemudian UNTEA menyerahkan tanah Papua ke tangan kolonial Indonesia tanpa meminta kesediaan orang Papua terlebih dahulu — apakah Papua bersedia bergabung dan siap menjadi warga negara kolonial Indonesia atau tidak. Pada saat itu, orang yang mengisi dan menerima besar di dalam UNTEA dikuasai peran sebagai imperialis Amerika Serikat dalam persetujuan mantan direktur CIA, Allen Dulles, yang bekerja sama dengan pimpinan PT Freeport Sulphur (kemudian mengganti nama dengan PT Freeport McMoran atau Freeport Indonesia) yang bermarkas dan bangkrut di Kuba, dengan kehadiran seruan Fidel Castro untuk menasionalisasikan seluruh perusahaan yang ada di negara itu.

LEMBARAN SEJARAH LAIN :
Ragam sejarah, mulai dari Perjanjian New York, Perjanjian Roma , operasi militer, MoU Freeport, pembentukan sembilan daerah otonomi baru (DOB) di Papua, penggabungan HAM, penggabungan, rasialisme, dan lainnya memuat “aneksasi”.  Pelaksanaan Pepera 1969 pun terus sama. Kolonial Indonesia melancarkan upaya "aneksasi" untuk memenangkannya. Kolonial Indonesia “membebaskan / menganeksasi” orang Papua untuk memilih NKRI dengan todongan senjata. Setelah disetujui tanah Papua, kolonial Indonesia menerangkan — membenarkan status sebagai penjajah kedua setelah kolonial Belanda. Caranya mengubah nama-tempat, jalan, kota / kabupaten, dan lain-lain di Papua dengan “aneksasi atas kehendak sendiri” —tanpa berpartisipasi dan melakukan kompromi terlebih dahulu dengan orang Papua. Ragam sejarah tersebut mengandung ciri, sifat, cara, makna, dan makna “aneksasi”.

PEREKRUTAN DEMI KEPENTINGAN ANEKSASI :
Orang, pahlawan kolonial Indonesia asal Papua, seperti Frans Kaisiepo, Silas Papare, Marthen Indey, dan Y. Dimara sebenarnya tidak mendapatkan mandat dari orang Papua. Juga bukan direkrut dengan bekal kemampuan kolonial Indonesia. Mereka hanya produk kelicikan imperialis Amerika Serikat untuk melegitimasi hari "aneksasi" 1 Mei 1963, termasuk ragam sejarah yang bermuatan "aneksasi" di atas. 

BERANJAK DARI REALITAS MASA KINI :
Saat ini kolonial Indonesia menerjemahkan “sistem aneksasi” tersebut melalui berbagai kebijakan politik etis. Seluruh kebijakan kolonial Indonesia di tanah Papua adalah produk “aneksasi” — meneruskan “sistem kawinaksi” yang disetujui oleh Benny Giyai dan Socratez S. Yoman dalam buku-buku mereka dan diskusi-diskusi lepas.   Kebijakan politik, otonomi khusus (otsus), beras miskin (raskin), Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua dan Papua Barat (UP4B), dan pemekaran atau DOB. Semua kebijakan politik hanya untuk orang Papua saja. Draft otsus yang diterbitkan disusun berdasarkan sudut pandang orang Papua, sampai di Jakarta diubah. 

Indonesia sesuai dengan kehendak dan dalam kolonial Indonesia sesuai dengan kepentingannya di Tanah Papua. Masalah lain, menentang HAM yang berujung proses genosida pun sama — berkaitan dengan "sistem aneksasi". Dari dulu hingga hari ini, kolonial Indonesia mengeluarkan sistem pemerintahan dan sistem pemerintahan, kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya di Papua oleh “aneksasionis”.  Hari ini, kekuasaannya kokoh di Papua melalui pemekaran. Berakar pada pejabat-pejabat lokal dan organisasi juga (oknum) pemuka agama-agama dan adat. Diciptakan dengan sempurna, dibuat dan dijalankan dengan cara “aneksasi”.  

CIRI KHAS PERLAWANAN ORANG PAPUA : 
Barangkali KNPB “" kami melawan sistem kolonial Indonesia tanpa melawan orang Indonesia "itu ada pada interaksi" sistem aneksasi "ini. Sejarah masa lalu dan realitas saat ini penuh dengan praktik aneksasi. Sistem aneksasi adalah gambaran umum dari segala bentuk perbudakan di Papua. Maka sangat tepat menentang “melawan sistem aneksasi” yang disebut ciri khas perlawanan orang Papua terhadap kolonial Indonesia. 

Telah dirilis juga oleh media nasional Tirto.Id.com - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyoroti bagaimana pandemi COVID-19 sangat mempengaruhi hidup petani dan buruh dalam segi ekonomi saat peringatan Hari Buruh atau May Day pada 1 Mei 2020. Penulis: (Haris Prabowo)

Ia mengaku kecewa dengan tidak ada solidaritas dari pengusaha-pengusaha kaya yang selama puluhan tahun telah diistimewakan dan dimanjakan pemerintah dengan segenap regulasi dan dana.

Dewi menilai tidak ada mitigasi pemerintah yang kuat dalam mencegah PHK massal oleh kelompok perusahaan, termasuk mengatasi dampak lanjutan dari PHK tersebut. Katanya, perusahaan pun banyak memaksakan meneruskan pabriknya berproduksi untuk memenuhi kontrak bisnisnya.

"Parahnya, lagi-lagi pengusaha besar yang mendapatkan keuntungan dari situasi wabah ini dengan menunggangi impor obat-obatan, alat medis hingga kelak vaksinnya. Negara belum betul-betul hadir mengatur ketat perusahaan di masa pandemi demi menyelamatkan rakyat," kata Dewi lewat rilis orasi politiknya untuk May Day 2020, Kamis (1/5/2020).

Ia menilai, justru ekonomi gotong-royong antara petani dan buruh telah terbangun selama pandemi COVID-19. Menurut dia, dalam 50 hari terakhir di masa pandemi ini, gerakan saling bantu petani-buruh untuk memperkuat produksi, distribusi, dan konsumsi pangan antara keluarga petani dan keluarga buruh telah terbangun melalui Gerakan Solidaritas Lumbung Agraria (GeSLA).

"Petani dan buruh telah menunjukkan kesanggupannya untuk memutus rantai panjang distribusi dan konsumsi ala kapitalisme di sektor pertanian dan industri pangan. Inilah modal sosial dan ekonomi kerakyatan yang kita cita-citakan, dimana desa dan kota saling memperkuat," kata dia.

Dewi juga menilai desa dan kampung-kampung masih bertahan sebagai pusat produksi pangan dan lumbung pangan untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya, bahkan menyelamatkan bangsa.

Menurut Dewi, lumbung komunitas, desa, dan serikat-serikat tani tidak hanya memiliki kesanggupan untuk memenuhi pangannya secara berdaulat, bahkan ikut mengalirkan sebagian lumbung pangan dan panennya ke kota-kota.

"Petani bergabung mengatasi krisis yang tengah dihadapi kawan-kawan buruh dan warga rentan di perkotaan," kata dia.

Dewi juga menyayangkan selama pandemi COVID-19 kekerasan konflik agraria dan penangkapan petani masih terjadi. Menurut dia, hal tersebut diperparah oleh pembahasan RUU Cipta Kerja yang terus dipaksakan sebenarnya menunjukkan bahwa investor, pemerintah dan elite politik tak berhenti untuk menahan diri di masa pandemi ini.

Dalam memperingati May Day 2020, Dewi mendesak pemerintah untuk menaikkan upah buruh, menolak PHK, dan mendorong sistem ekonomi berkeadilan dengan menyerahkan atau membagi saham-saham kepemilikan industri kepada serikat-serikat buruh.

Ia juga mendesak agar menghentikan perampasan tanah rakyat oleh negara dan pemodal, mengembalikan fungsi sosial atas tanah, memulihkan dan mengutamakan desa, kampung-kampung adat dan pesisir.

"Serta memperkuat pusat-pusat produksi pertanian, peternakan, perikanan dan industri pengolahan rakyat dengan cara segera melaksanakan reforma agraria secara penuh dan konsekuen sesuai mandat UUD 1945 dan UUPA 1960," kata dia. 

Sumber Data :
Editor: Kevin Meno Natkime
Reporter: Tongoikalmore.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar