SURABAYA,
TONGOIKALMORE.COM - Selamat memperingati hari Aneksasi 1 Mei 1963 - 1 Mei
2020: Sejarah integrasi Papua harus diklarifikasi sebagai
jalan solusi mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Papua. Keabsahan 1 Mei
1963 sebagai “Hari Integrasi”, oleh sebagian besar rakyat Papua dipandang
sebagai “Hari Aneksasi” Indonesia atas Tanah Papua. Ini karena orang-orang
Papua sendiri sejak 15 Agustus 1962, tidak pernah dihargai dan dihormati hak
azasinya sebagai salah satu komunitas masyarakat di dunia dan bukan merupakan
subjek yang ikut menentukan nasibnya sendiri.
Adapun Pepera tahun 1969 sesungguhnya memiliki nilai
minus yang sudah semestinya segera dijadikan bahan kajian dan diskursus dalam
berbagai kesempatan secara terbuka di alam demokrasi Indonesia, guna memperoleh
kesepakatan yang damai. “Ini saya sampaikan karena atas dasar “keabsahan”
Pepera 1969 yang masih terus dipersoalkan serta 1 Mei 1963 yang dipandang oleh
rakyat Papuasebagai Hari Aneksasi.” Berikan hak menentukan Nasibnya sendiri
sebagai solusi Demokratis Bangsa West Papua.
KHAS
PERLAWANAN ORANG PAPUA :
Orang Papua punya sejarah panjang perbudakan dari
kolonial indonesia. Dalam orasi-orasi pergerakan revolusioner dan politik,
Komite Nasional Papua Barat (KNPB) selalu mengatakan "kami tidak melawan
orang Indonesia, tetapi kami melawan sistem kolonial Indonesia", tetapi
belum menentang ciri khas perlawanannya, seperti "sistem apartheid"
di Afrika Selatan yang dibahas seluruh sistem perbudakan yang diterapkan oleh
imperialis Inggris. Bisa
saja apa yang disetujui para aktivis politik Papua merdeka yang mendorong
keputusan itu sendiri melalui “referendum” ini terkait sistem birokrasi dan
swasta, politik, ekonomi, dan budaya yang menindas orang Papua secara
sistematis. Namun belum jelas.
Terkait, itu belum diterjemahkan sebagai
“ciri khas perlawanan” seperti “sistem rasialisme” di Amerika Serikat, yang
digerakkan oleh Marthen L. King dkk. Meski demikian, tidak rumit untuk
menggambarkan “ciri khas perlawanan-perlawanan orang Papua terhadap kolonial Indonesia”. Ragam
acara bisa menjadi rujukan. Di sini kita diajak untuk membuka
lembaran-lembaran sejarah masa lalu sampai pada revolusi sosial saat
ini. Tujuannya untuk mengatur “ciri khas orang Papua” secara tepat. Ujar - Dituliskan oleh Aktivis Papua, ( Immount de DJjthem) .
SEJARAH
INTEGRASI PERSUS ANEKSASI POLITIK :
Salah satu ciri khas itu dengan menilik
sejarah "aneksasi Papua ke NKRI". Kolonial Indonesia
memperingati setiap 1 Mei sebagai "hari berkomunikasi Papua ke dalam
NKRI". Sementara orang Papua mempercayai 1 Mei 1963 sebagai hari
"aneksasi" atau puncak politik dan ekonomi tingkat tinggi antara
imperialis Amerika Serikat, kolonial Indonesia dan Belanda — tanpa kontribusi
dan melakukan kompromi terlebih dahulu dengan orang Papua.
PENYERAHAN TANAH PAPUA DEMI NEMANGKAWI
(TEMBAGAPURA) : Dengan mengantongi hasil temuan Jean Jacks Dozy, geolog Belanda
dari gunung emas, Tembagapura pada 1939, untuk mendapatkan untung besar,
imperialis Amerika Serikat “merayu” kolonial Belanda agar dapat menghubungi
Papua ke tangan kolonial Indonesia. Motif penyerahan tanah Papua penuh dengan
ekonomi — sewenang-wenang — di luar kehendak dan penuh dengan
"pemaksaan".
PERAN CIA DALAM PROSES ANEKSASI :
Kolonial Belanda menyerahkan tanah Papua ke tangan UNTEA pada hari
itu atas “desakan / pemaksaan” dari Amerika Serikat (CIA) yang menggunakan
label-label PBB (UNTEA). Kemudian UNTEA menyerahkan tanah Papua ke tangan
kolonial Indonesia tanpa meminta kesediaan orang Papua terlebih dahulu — apakah
Papua bersedia bergabung dan siap menjadi warga negara kolonial Indonesia atau
tidak. Pada saat itu, orang yang mengisi dan menerima besar di dalam
UNTEA dikuasai peran sebagai imperialis Amerika Serikat dalam persetujuan
mantan direktur CIA, Allen Dulles, yang bekerja sama dengan pimpinan PT
Freeport Sulphur (kemudian mengganti nama dengan PT Freeport McMoran atau
Freeport Indonesia) yang bermarkas dan bangkrut di Kuba, dengan kehadiran
seruan Fidel Castro untuk menasionalisasikan seluruh perusahaan yang ada di
negara itu.
LEMBARAN SEJARAH LAIN :
Ragam sejarah, mulai dari Perjanjian
New York, Perjanjian Roma , operasi militer, MoU Freeport, pembentukan
sembilan daerah otonomi baru (DOB) di Papua, penggabungan HAM, penggabungan,
rasialisme, dan lainnya memuat “aneksasi”. Pelaksanaan Pepera 1969
pun terus sama. Kolonial Indonesia melancarkan upaya "aneksasi"
untuk memenangkannya. Kolonial Indonesia “membebaskan / menganeksasi”
orang Papua untuk memilih NKRI dengan todongan senjata. Setelah disetujui tanah
Papua, kolonial Indonesia menerangkan — membenarkan status sebagai penjajah
kedua setelah kolonial Belanda. Caranya mengubah nama-tempat, jalan, kota
/ kabupaten, dan lain-lain di Papua dengan “aneksasi atas kehendak sendiri”
—tanpa berpartisipasi dan melakukan kompromi terlebih dahulu dengan orang
Papua. Ragam sejarah tersebut mengandung ciri, sifat, cara, makna, dan
makna “aneksasi”.
PEREKRUTAN DEMI KEPENTINGAN ANEKSASI :
Orang, pahlawan kolonial Indonesia asal
Papua, seperti Frans Kaisiepo, Silas Papare, Marthen Indey, dan Y. Dimara
sebenarnya tidak mendapatkan mandat dari orang Papua. Juga bukan direkrut
dengan bekal kemampuan kolonial Indonesia. Mereka hanya produk kelicikan
imperialis Amerika Serikat untuk melegitimasi hari "aneksasi" 1 Mei
1963, termasuk ragam sejarah yang bermuatan "aneksasi" di atas.
BERANJAK DARI REALITAS MASA KINI :
Saat ini kolonial Indonesia menerjemahkan
“sistem aneksasi” tersebut melalui berbagai kebijakan politik
etis. Seluruh kebijakan kolonial Indonesia di tanah Papua adalah produk
“aneksasi” — meneruskan “sistem kawinaksi” yang disetujui oleh Benny Giyai dan
Socratez S. Yoman dalam buku-buku mereka dan diskusi-diskusi
lepas. Kebijakan politik, otonomi khusus (otsus), beras miskin
(raskin), Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua dan Papua Barat (UP4B),
dan pemekaran atau DOB. Semua kebijakan politik hanya untuk orang Papua saja. Draft
otsus yang diterbitkan disusun berdasarkan sudut pandang orang Papua, sampai di
Jakarta diubah.
Indonesia sesuai dengan kehendak dan dalam
kolonial Indonesia sesuai dengan kepentingannya di Tanah Papua. Masalah
lain, menentang HAM yang berujung proses genosida pun sama — berkaitan dengan
"sistem aneksasi". Dari dulu hingga hari ini, kolonial Indonesia mengeluarkan sistem
pemerintahan dan sistem pemerintahan, kebijakan politik, ekonomi, sosial dan
budaya di Papua oleh “aneksasionis”. Hari ini, kekuasaannya kokoh di
Papua melalui pemekaran. Berakar pada pejabat-pejabat lokal dan organisasi
juga (oknum) pemuka agama-agama dan adat. Diciptakan dengan sempurna,
dibuat dan dijalankan dengan cara “aneksasi”.
CIRI KHAS PERLAWANAN ORANG PAPUA :
Barangkali KNPB “" kami melawan
sistem kolonial Indonesia tanpa melawan orang Indonesia "itu ada pada
interaksi" sistem aneksasi "ini. Sejarah masa lalu dan realitas
saat ini penuh dengan praktik aneksasi. Sistem aneksasi adalah gambaran
umum dari segala bentuk perbudakan di Papua. Maka sangat tepat menentang
“melawan sistem aneksasi” yang disebut ciri khas perlawanan orang Papua
terhadap kolonial Indonesia.
Telah dirilis juga oleh media nasional Tirto.Id .com - Sekretaris
Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyoroti bagaimana
pandemi COVID-19 sangat mempengaruhi hidup petani dan buruh dalam segi ekonomi
saat peringatan Hari Buruh atau May Day pada 1 Mei 2020. Penulis: (Haris Prabowo)
Ia mengaku kecewa dengan tidak ada solidaritas dari
pengusaha-pengusaha kaya yang selama puluhan tahun telah diistimewakan dan
dimanjakan pemerintah dengan segenap regulasi dan dana.
Dewi menilai tidak ada mitigasi pemerintah yang kuat dalam
mencegah PHK massal oleh kelompok perusahaan, termasuk mengatasi dampak
lanjutan dari PHK tersebut. Katanya, perusahaan pun banyak memaksakan
meneruskan pabriknya berproduksi untuk memenuhi kontrak bisnisnya.
"Parahnya, lagi-lagi pengusaha besar yang mendapatkan
keuntungan dari situasi wabah ini dengan menunggangi impor obat-obatan, alat
medis hingga kelak vaksinnya. Negara belum betul-betul hadir mengatur ketat perusahaan
di masa pandemi demi menyelamatkan rakyat," kata Dewi lewat rilis orasi
politiknya untuk May Day 2020, Kamis (1/5/2020).
Ia menilai, justru ekonomi gotong-royong antara petani dan
buruh telah terbangun selama pandemi COVID-19. Menurut dia, dalam 50 hari
terakhir di masa pandemi ini, gerakan saling bantu petani-buruh untuk
memperkuat produksi, distribusi, dan konsumsi pangan antara keluarga petani dan
keluarga buruh telah terbangun melalui Gerakan Solidaritas Lumbung Agraria
(GeSLA).
"Petani dan buruh telah menunjukkan kesanggupannya untuk
memutus rantai panjang distribusi dan konsumsi ala kapitalisme di sektor
pertanian dan industri pangan. Inilah modal sosial dan ekonomi kerakyatan yang
kita cita-citakan, dimana desa dan kota saling memperkuat," kata dia.
Dewi juga menilai desa dan kampung-kampung masih bertahan
sebagai pusat produksi pangan dan lumbung pangan untuk menyelamatkan dirinya
dan keluarganya, bahkan menyelamatkan bangsa.
Menurut Dewi, lumbung komunitas, desa, dan serikat-serikat
tani tidak hanya memiliki kesanggupan untuk memenuhi pangannya secara
berdaulat, bahkan ikut mengalirkan sebagian lumbung pangan dan panennya ke
kota-kota.
"Petani bergabung mengatasi krisis yang tengah dihadapi
kawan-kawan buruh dan warga rentan di perkotaan," kata dia.
Dewi juga menyayangkan selama pandemi COVID-19 kekerasan
konflik agraria dan penangkapan petani masih terjadi. Menurut dia, hal tersebut
diperparah oleh pembahasan RUU Cipta Kerja yang terus dipaksakan sebenarnya
menunjukkan bahwa investor, pemerintah dan elite politik tak berhenti untuk
menahan diri di masa pandemi ini.
Dalam memperingati May Day 2020, Dewi mendesak pemerintah
untuk menaikkan upah buruh, menolak PHK, dan mendorong sistem ekonomi
berkeadilan dengan menyerahkan atau membagi saham-saham kepemilikan industri
kepada serikat-serikat buruh.
Ia juga mendesak agar menghentikan perampasan tanah rakyat
oleh negara dan pemodal, mengembalikan fungsi sosial atas tanah, memulihkan dan
mengutamakan desa, kampung-kampung adat dan pesisir.
"Serta memperkuat pusat-pusat produksi pertanian,
peternakan, perikanan dan industri pengolahan rakyat dengan cara segera
melaksanakan reforma agraria secara penuh dan konsekuen sesuai mandat UUD 1945
dan UUPA 1960," kata dia.
Sumber Data :
Editor: Kevin Meno Natkime
Reporter: Tongoikalmore.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar